Update Status
Pengalaman adalah guru yang sangat berharga. Seperti inilah yang saya alami selama bergelut dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bahwa untuk membuat sebuah perubahan bukan sesuatu hal yang tidak mungkin, sebab ketika ada kemauan pasti ada jalan.
Tahun 2003 silam saya mulai mengikuti kegiatan-kegiatan pada LSM lokal di Sulawesi Tenggara. Saat itu saya masih mahasiswa di Universitas Haluoleo dan saya termasuk kader himpunan mahasiswa islam (HMI) dan Korp HMI-wati yang aktiv baik didalam kampus maupun diluar kampus. Saat di Kohati kami diundang oleh Koalisasi Perempuan Indonesia (KPI) Kota Kendari dan Aliansi Perempuan (Alpen) Sulawesi Tenggara untuk melakukan advokasi terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kasus pelecehan seksual yang terjadi. Perkenalan awal itu kemudian berlanjut sampai saya menyelesaikan studi tahun 2004. Kegiatan yang awalnya hanya berupa rapat, pertemuan, demonstrasi, lalu berlanjut pada kegiatan peningkatan kapasitas dan advokasi yang lebih strategis.
Tahun 2005 saya mengikuti program advokasi anggaran responsive gender yang merupakan kegiatan Alpen Sultra dan Aspuk yang dibantu fasilitasinya oleh kontak Fitra di Sulawesi Tenggara. Program ini diawali dengan kegiatan pelatihan anggaran responsive gender (Alpen dan Aspuk) lalu dilanjutkan dengan kegiatan kajian anggaran responsive gender urusan kesehatan dan pendidikan di Kota Kendari. Kegiatan ini kemudian menggugah 'kesadaran' saya tentang pentingnya memahami kebijakan dan anggaran bagi saya, LSM, dan bagi penyadaran publik pada umumnya.
'Ketertarikan' ini kemudian menjadi titik awal bagi saya untuk lebih serius dan memilih aktiv di organisasi non pemerintah untuk meningkatkan kapasitas saya serta masyarakat akar rumput yang selama ini terpinggirkan. Lalu program dan kegiatan lain lebih intens saya ikuti. Saya juga mempelajari hubungan dan kolaborasi pemerintah (eksekutiv, legislativ) dan organisasi masyarakat sipil/masyarakat sipil. Ketika ini terus berlanjut hubungan dan jaringanpun semakin banyak dan berkualitas baik dari tingkat masyarakat didesa, OMS di kabupaten/kota, provinsi dan nasional serta hubungan dengan pihak pemerintah desa, pemerintah daerah kabupaten/kota, provinsi dan nasional baik eksekutiv dan legislativ.
Dari sini saya mempelajari banyak hal; (1) bahwa banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hak dasarnya sebagai warga negara, atau ada pula warga yang tahu hak, sering menuntut hak tapi lupa pada kewajiban,(2) bahwa pemerintah (eks dan leg) sebagian memiliki sensitivitas atas realitas sosial hanya saja mereka 'belum tahu' akan melakukan apa dan memulai dari mana, atau mereka tahu harus berbuat apa namun tidak tahu memulainya darimana, ada pula yang terjebak dengan 'sistem' yang rusak dan tidak tahu, tidak mau dan atau tidak bisa keluar dari sistem itu(3) bahwa buruknya kebijakan termasuk anggaran adalah ulah segelintir orang dipemerintahan yang memang tidak mau dan anti terhadap perubahan dan perbaikan bagi orang lain atau mungkin ada 'sedikit sekali' kemauan untuk berubah dan memberikan manfaat bagi orang lain.
Tiga hal tersebut lalu memetakan apa dan bagaimana peran 'seharusnya' saya (pribadi maupun sebagai pegiat di lembaga swadaya masyarakat). Semangat yang tadinya kuat dan namun tidak fokus, harusnya menjadi lebih terarah.