Perubahan iklim Global
Dalam beberapa dekade perubahan iklim semakin menimbulkan dampak yang pada iklim global. Sebagian wilayah dunia yang kini lebih hangat, dahulunya merupakan wilayah yang tertutupi oleh es, dan beberapa abad terakhir ini, suhu rata-rata telah naik turun secara musiman, sebagai akibat fluktuasi radiasi matahari, misalnya, atau akibat letusan gunung berapi secara berkala. Namun, saat ini perubahan iklim yang ada dan yang akan datang dapat disebabkan bukan hanya oleh peristiwa alam melainkan lebih karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi kita memberikan dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat pembakaran secara besar-besaran batu bara, minyak, serta pembabatan hutan.
Kerusakannya terutama terjadi melalui produksi ‘gas rumah kaca’. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Gas-gas itu memungkinkan sinar matahari menembus atmosfer bumi sehingga menghangatkan bumi, tetapi gas-gas ini mencegah pemantulan kembali sebagian udara panas ke ruang angkasa sehingga panas kembali ke bumi.
UNDP Indonesia dalam policy Brief-nya menyebutkan bahwa aktivitas Negara-negara dunia dalam membuang gas-gas semakin tinggi, tidak hanya Negara maju Negara berkembag kini telah ikut berkontribusi dalam meningkatkan efek gas rumah kaca, salah satunya dari aktivitas penggunaan kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil.
Masalahnya menjadi lebih parah karena kita sudah banyak kehilangan pohon yang dapat menyerap karbon dioksida. Brazil, Indonesia, dan banyak negara lain sudah menggunduli jutaan hektar hutan dan merusak lahan rawa. Tindakan ini tidak saja menghasilkan karbon dioksida dengan terbakarnya pohon dan vegetasi lain atau dengan mengeringnya gambut di daerah rawa, tetapi juga mengurangi jumlah pohon dan tanaman yang menggunakan karbon dioksida dalam fotosintesis – yang dapat berfungsi sebagai ‘rosotan’ (sinks) karbon, suatu proses yang disebut sebagai ‘penyerapan’ (sequestration). Kehancuran hutan Indonesia berlangsung makin cepat saja – yaitu dari 600.000 hektar per tahun pada tahun 1980an menjadi sekitar 1.6 juta hektar per tahun di penghujung tahun 1990an. Akibatnya, tutupan hutan menurun secara tajam – dari 129 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 82 juta di tahun 2000, dan diproyeksikan menjadi 68 juta hektar di tahun 2008, sehingga kini setiap tahun Indonesia semakin mengalami penurunan daya serap karbon dioksida. Dengan meningkatnya emisi dan berkurangnya penyerapan, tingkat gas rumah kaca di atmosfer kini menjadi lebih tinggi ketimbang yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah. Badan dunia yang bertugas memonitor isu ini Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat.
Indonesia dan Perubahan Iklim
Masalah perubahan iklim di Indonesia ada beberapa yang diperkirakan akan memberikan dampak yang sangat signifikan adalah:
Perubahan Musim dan Curah Hujan yang lebih tinggi
Indonesia mengalami perubahan musim dengan makin seringnya hujan yang tidak menentu dengan kenaikan curah hujan 2-3 persen per tahun, serta musim hujan yang lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan dalam setahun), yang menyebabkan resiko banjir meningkat secara signifikan.
Kenaikan temperatur/suhu udara.
Temperatur rata-rata tahunan di Indonesia telah mengalami kenaikan 0.3oC (pengamatan sejak 1990). Tahun 1998 merupakan tahun terpanas dalam abad ini, dengan kenaikan hampir 1oC (di atas rata-rata dari tahun 1961 – 1990). Ini akan mengubah pola-pola vegetasi, dan juga penyebaran serangga seperti nyamuk yang akan mampu bertahan di wilayah-wilayah yang sebelumnya terlalu dingin untuk perkembangbiakan mereka.
Kenaikan permukaan air laut.
Sebagai akibat dari muainya air laut dan melelehnya gletser dan lapisan es di kutub, pemanasan global dapat menyebabkan naiknya muka air laut antara 9 hingga100 cm. Kenaikan ini akan mempercepat erosi di wilayah pesisir, memicu intrusi air laut ke air tanah, merusak lahan rawa di pesisir, dan menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Kenaikan Suhu Air Laut
Air laut yang lebih hangat dapat mencegah perkembangbiakan plankton dan mengurangi ketersediaan makanan ikan. Suhu lebih tinggi juga dapat merusak atau ‘memutihkan’ terumbu karang.
Ketahanan pangan.
Perubahan iklim akan mengubah curah hujan, penguapan, limpasan air, dan kelembapan tanah; yang akan mempengaruhi produktivitas pertanian. Kesuburan tanah akan berkurung 2-8 persen dalam jangka panjang, yang akan berakibat pada penurunan produksi tahunan padi sebesar 4 persen, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen.
Perubahan musim dan curah hujan mempengaruhi keseimbangan air lingkungan dan suplai air minum/ari bersih. Air sangat penting bagi kesehatan dan kualitas manusia dan memnuhi kebutuhan pangan, energy dan bahan baku. Air bersih tidak hanya dibutuhkan bagi individu manusia tetapi lingkungan tempat manusia hidup, berkembang da berinteraksi. Dengan adanya penggundulan hutan dan aktivitas yang merusak lingkungan juga berpengaruh terhadaps uplay air bersih yang tersedia dimasyarakat. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan manusia, kondisi ekonomi dan jika tidak dibenahi dikemudian hari dapat menjadi konflik. Pada tahun 2013, dari sekitar dua ratus jutaan orang Indonesia, hanya 20% yang memiliki akses ke air bersih. Sebagian besar berada di daerah perkotaan. Adapun sisanya, atau sekitar 80% masyarakat Indonesia masih mengkonsumsi air yang tidak layak untuk kesehatan.
Setiap musim kemarau, selalu muncul masalah kekeringan yang melanda Indonesia. salah satu provinsi yang mengalami kekeringan pada satu bulan terakhir adalah Jawa Tengah. Kabupaten yang mengalami kekeringan antara lain Banjarnegara, Blora, Boyolali, Demak, Grobogan, Pati, Purbalingga, Temanggung, dan Kabupaten Wonogiri. Kekeringan ini bahkan sering terjadi pada kemarau normal untuk beberapa daerah seperti nusa tenggara.
Ancaman Kekeringan dan kelanggakan air bersih di Sulawesi Tenggara
Fenomena
kelangkaan air bersih sebagai pengaruh perubahan iklim juga mulai dirasakan
oleh masyarakat di Sulawesi Tenggara. Sebuah catatan tentang ancaman krisis air
bersih di Sulawesi Tenggara dirangkum dari beberapa publikasi media di Sulawesi
Tenggara oleh tim bloger seputarkendari.blogspot.co.id menyebutkan bahwa
ancaman ketersedian air bersih sudah dirasakan oleh mansyarakat. Apalagi
pelayanan air bersih diperkotaan. Berikut ringkasan catatan tersebut.
Kurang Lebih 29.000 Kepala Keluarga (KK) Warga Sulawesi
Tenggara terancam krisis air bersih jika tidak ditangani dengan segera oleh
pihak-pihak yang terkait. Wilayah yang mengalami krisis air bersih tersebar di
7 Kabupaten /Kota yakni Konawe Kecamatan Abuki, Kota Kendari Kecamatan Abeli dan
Kecamatan Baruga, Kabupaten Buton Utara di Kecamatan Bonegunu dan Kalususu,
Kabupaten Buton Selatan Kecamatan Kadatua, Kabupaten Muna Kawasan Pesisir
Morabo, Kabupaten Kolaka seluruh wilayah, dan Konawe Utara Di Kecamatan Motui.
Berikut hasil
klasifikasi tim sekilas kendari terkait permasalahan air bersih di Sulawesi
Tenggara :
Pelayanan PDAM
Pertama, Sebesar 7.000 pelanggan PDAM Kolaka terancam tidak mendapatkan air bersih
lantaran sumber air untuk warga mengalami kekeringan. PDAM tentunya perlu
memikirkan sumber air bersih lain untuk mengantisipasi krisis air bersih di
Kolaka
Kedua, PDAM tidak mampu memberikan pelayanan yang baik terhadap
masyarakat di Kota Kendari, karena beberapa faktor seperti sumber air yang
buruk, selain itu karena faktor sumber air bersih juga dipengaruhi oleh
menagemen yang salah seperi kebocoran pipa, pencurian air dan permainan oknum
PDAM. Dampaknya 18.789 Pelanggan PDAM Kendari yang membeli mahal air seharga
Rp. 10.180 per meter kubik kadang mendapatkan air bersih dan kadang juga tidak.
Yang lebih miris lagi adalah kerugian yang dialami PDAM mencapai 2,1 Milliar
setiap bulannya. Pelayanan tidak maksimal yang berdampak kepada warga dan uang
yang seharusnya menjadi APBD hilang begitu saja. (Berbagai sumber)
Fasilitas Air bersih
tidak ada
Pertama, Krisis air bersih yang melanda sehingga warga membangun sumur gali di Desa
Lipu, Kecamatan Kadatua, Kabupaten Buton Selatan (RS 04/11/2015)
Kedua, Warga hanya mengandalkan air bersih dari dalam gua yang jaraknya kurang
lebih 3 Kilometer dari Kampung mengakibatkan 300 KK kekurangan air bersih di
Pesisir Morabo, Kabupaten Muna (RS 23/10/2015)
Sumber air bersih
Kekeringan
Pertama, Sumur tempat warga mengambil air bersih mengalami kekeringan, sehingga
banyak warga terserang diare dan penyakit kulit karena menggunakan air yang
kurang bersih di Kecamatan Bonegunu dan Kalususu, Buton Utara (RS Oktober 2015)
Kedua, Sumur bor yang sudah dianggarkan APBD tidak menghasilkan air bersih
sehingga kekurangan air di Kecamatan Matui, Konawe Utara (RS 25/10/2015)
Ketiga, Ribuan Warga kekuarangan air bersih untuk kebutuhan MCK harian. Sumur dan
Air Gunung sebagai sumber air bersih warga mengalami kekeringan di Kecamatan
Abuki, Konawe (RS 08/10/2015)
|
Perempuan dan kebutuhan air bersih |
Dari informasi tersebut ancaman krisis air bersih sudah
menjadi hal yang memprihatinkan. Namun, krisis air ini sering dianggap bukan
permasalahan yang krusial, padahal permasalahan krisis air ini memiliki potensi
konflik yang luar biasa di masa mendatang.
Tindakan pengendalian untuk mengatasi
masalah krisis air juga masih dilakukan dengan pendekatan simptomatik dengan
gaya instan. Ketika kekeringan terjadi, maka penyelesaiannya hanya dengan
distribusi air bersih melalui tangki air, penyediaan pompa, pembiaran air dan
perbaikan jaringan irigasi. Gaya pendekatan seperti ini sebenarnya tidak
menyentuh pada akar permasalahan secara menyeluruh. Sebaliknya masalah yang
dihadapi akan muncul secara berulang-ulang dan dalam intensitas yang semakin
meningkat. Oleh karena itu perlu di memetakan kondisi ketersediaan
sumber-sumber air bersih, misalnya kondisi daerah aliran sungai.
Daerah
aliran sungai (DAS) merupakan suatu megasistem kompleks yang dibangun atas
sistem fisik (physical systems), sistem biologis (biological systems)
dan sistem manusia (human systems) yang saling terkait dan berinteraksi
satu sama lain. Tiap komponen dalam sistem/sub sistemnya memiliki sifat yang
khas dan keberadaannya berhubungan dengan komponen lain membentuk kesatuan
sistem ekologis (ekosistem). Dengan demikian jika terdapat gangguan atau
ketidakseimbangan pada salah satu komponen maka akan memiliki dampak berantai
terhadap komponen lainnya.
Pengertian
DAS sendiri dapat dipahami tidak hanya dari sudut pandang fisik tetapi juga
dari sudut pandang institusi. Menurut Kartodihardjo, dkk, 2004), secara fisik
DAS didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah yang dibatasi secara alamiah
oleh punggung bukit yang menerima dan mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur
hara serta mengalirkannya melalui sungai utama dan keluar pada satu titik outlet.
Batasan tersebut menunjukkan bahwa di dalam DAS terdapat wilayah yang berfungsi
menampung dan meresapkan air (wilayah hulu) dan wilayah tempat air hampir
berakhir mengalir (wilayah hilir). Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa perbedaan
karakteristik fisik tersebut, ditentukan oleh dua faktor yakni:
a. Lahan (ground factors,
seperti topografi, tanah, geologi dan geomorfologi) dan
b. Vegetasi dan penggunaan lahan.
Berdasarkan sifat-sifat biofisik DAS
itu serta didukung oleh berbagai faktor yang kompleks tersebut, terutama oleh
aktifitas penduduk di dalamnya, maka kualitas output ekosistem dalam DAS akan
sangat terpengaruh. Kualitas ekosistem tersebut secara fisik terlihat dari
besar erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit dan produktifitas lahan.
Menurut
Kartodihardjo (2004) menjelaskan bahwa tujuan dari pengelolaan DAS secara
biofisik antara lain:
a. Terjaminnya penggunaan sumberdaya alam yang
lestari.
b. Tercapainya keseimbangan ekologis
lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan.
c. Terjaminnya jumlah dan kualitas air yang
baik sepanjang tahun.
d. Terkendalinya aliran permukaan dan banjir.
e. Terkendalinya
erosi tanah dan proses degradasi lahan lainnya.
Divisi
PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan mendaftar beberapa lingkup sebagai bagian
dari Pembangunan Berkelanjutan: dan hampir sebagian besar di antaranya terkait
dengan sumberdaya yang terdapat dalam sebuah DAS, di antaranya Pertanian;
Atmosfir; Keanekaragaman Hayati; Pengembangan Kapasitas; Perubahan Iklim; Pola
Konsumsi dan Produksi; Demografi; Pengurangan dan Manajemen Bencana; Hutan; Air
Segar; Tempat tinggal; Pembuatan Keputusan yang terintegrasi; Pengaturan
Institusional; Manajemen lahan; Gunung;; Kemisinan; Air, dan lain-lain.
Untuk
itu pengelolaan DAS perlu menganut prinsip keterpaduan “satu sistem
perencanaan dalam satu Daerah Aliran Sungai” (one river one plan one
management). Kesesuaian DAS sebagai basis pembangunan wilayah telah
diuraikan terkait dengan pemahaman DAS sebagai stock/jasa dan
komoditas. Begitu pula pemahaman bahwa perlu diciptakan mekanisme untuk
mendorong pemanfaatan sumberdaya alam sesuai kepentingan umum.
Mendorong Peningkatan Akses dan Pencegahan
krisis air bersih
Untuk
mengantisipasi dampak perubahan iklim atas ketersediaan air bersih yang semakin
menipis dan mengancam kehidupan manusia, perlu di mendorong tindakan dan
kebijakan strategis, sebagai berikut :
- Perlu
adanya pengkajian mendalam terhadap sumber-sumber air bersih potensial di DAS
dan kondisinya saat ini, permasalahan DAS dan juga permasalahan pengelolaan air
bersih, sebagai dasar untuk melihat cadangan sumber-sumber air bersih. Demikian
pula sumber air tanah lainnya.
- Perlu
pendekatan terpadu dalam menjaga dan mengelola sumber-sumber air bersih dengan
melibatkan stakeholders ; eksektuif, legislative, perguruan tinggi, BUMD/PDAM,
LSM dan masyarakat sebagai pengguna air bersih maupun masyarakat disekitar
sumber air bersih disepanjang DAS atau dari hulu ke hilir. Salah satu hal yang
perlu dilakukan adalah pemberian jasa lingkungan terhadap masyarakat penjaga
hutan di sekitar DAS terutama di hulu. Pendekatan terpadu pengelolaan air
bersih maka perlu didorong upaya Reformasi
Rekayasa dan Kekaryaan PDAM. Menurut UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
juga berpeluang hadir dan menjadi opsi air bersih untuk warga.
- Dalam jangka pendek perlu mendorong
tindakan-tindakan pencegahan maupun mengatasi kekurangan air bersih dengan :
Membuat daerah resapan air, Membuat Biopori, dll. Mengurangi aktivitas-aktivitas yang dapat mempengaruhi dan
memperparah kondisi gas rumah kaca yang akan mempengaruhi ketersediaan
sumber-sumber air berih.
- Mendorong lahirnya
peraturan daerah tentang kebijakan terpadu tentang penyediaan air bersih dan
pengelolaanya mulai dari hulu ke hilir dengan memperhatikan keberlanjutan
daerah aliran sungai (DAS) sebagai sumber air bersih di Sulawesi Tenggara. Kebijakan
ini tidak hanya melibatkan satu wilayah administrative di sebuah kabupaten/kota
namun melintasi batas wilayah administratif.